Dibayar Rendah, Dituntut Banyak: Mengapa Strategi Ini Justru Menggerus Masa Depan Perusahaan

seorang pegawai lelaki memegang uang dengan laptop dan meja di depannya
ilustrasi pegawai lelaki memegang uang (Sumber: freepik.com)

Di balik gempita pertumbuhan perusahaan, terutama mereka yang mulai naik kelas dan bukan lagi pemain kecil di industrinya, ada satu ironi yang kerap terjadi: karyawan yang dibayar rendah, namun dipaksa menanggung beban kerja berlapis, loyalitas tanpa batas, dan tekanan untuk selalu siap. Satu orang untuk lima peran. Satu gaji untuk semua harapan. Dan pada akhirnya, satu pintu keluar: resign.

Fenomena ini bukan sekadar cerita individu, melainkan pola struktural yang banyak terjadi di balik kantor-kantor startup berkembang, agensi kreatif, hingga perusahaan teknologi yang sedang membangun skala. Praktik menggaji rendah namun menuntut banyak kerap dibungkus dengan jargon semu seperti “kesempatan belajar,” “tumbuh bersama,” atau “berjuang bareng.” Padahal, di lapangan, banyak karyawan justru terseok karena beban kerja tak manusiawi, ekspektasi tanpa batas, dan penghargaan yang tak sepadan.

Bacaan Lainnya

Perspektif Pengusaha: Di Mana Letak Rasionalitasnya?

Sebagian pemilik perusahaan berdalih bahwa penggajian rendah adalah langkah efisiensi. Di awal perjalanan bisnis, efisiensi memang penting. Tapi efisiensi yang dimaknai sebagai menumpuk tanggung jawab di pundak satu orang, tanpa dukungan struktur dan tanpa kompensasi layak, justru menggerus nilai perusahaan dari dalam.

Tak jarang, mereka menggunakan alasan bahwa karyawan masih muda, belum berpengalaman, atau seharusnya bersyukur “sudah diberi kesempatan.” Padahal, secara paralel, target dan tuntutan kerja yang diberikan tidak jauh berbeda dari posisi profesional senior. Ini bukan lagi urusan belajar, tapi eksploitasi terselubung dengan nama yang lebih manis.

Multitasking Berlebihan: Produktivitas atau Pelan-Pelan Hancur?

ilustrasi pekerja yang sedang burnout (Sumber: freepik.com)

 

Mari kita bicara soal kenyataan. Seorang karyawan yang mengelola media sosial, membalas klien, mencatat laporan keuangan, mengurus operasional, dan menjadi content creator sekaligus bukanlah gambaran ideal dari talenta serba bisa. Itu adalah tanda bahwa struktur organisasi gagal.

Dalam jangka pendek, mungkin perusahaan merasa menang. Biaya ditekan, operasional jalan. Tapi dalam jangka panjang, kerugian perlahan menghantui:

Produktivitas bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga proses yang sehat untuk mencapainya.

Turnover Tinggi: Masalah yang Terus Berulang

Tidak sedikit perusahaan yang merasa heran: “Mengapa setiap 6 bulan karyawan keluar?” Jawabannya sederhana, tidak ada alasan rasional untuk bertahan.

Turnover tinggi bukan hanya kerugian dari sisi SDM. Ia menyedot energi, waktu, dan biaya. Rekrutmen ulang, pelatihan baru, adaptasi budaya kerja, dan hilangnya momentum kerja kolektif adalah beban tersendiri.

Belum lagi kerusakan reputasi yang tersebar secara organik: dari mulut ke mulut, dari unggahan anonim di media sosial, atau ulasan jujur di portal kerja.

Dan saat nama perusahaan tercemar sebagai “tempat toxic,” bukan hanya karyawan bagus yang menghindar, tapi juga klien, partner, dan publik secara umum.

Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan upah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Semakin tinggi kepuasan upah, semakin rendah niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. 

Mengapa Karyawan Layak Dibayar Sesuai?

ilustrasi kepalan tangan pejuang rupiah (Sumber: freepik.com)

 

Setiap perusahaan yang ingin tumbuh dengan sehat harus menyadari bahwa manusia adalah aset utama. Mereka bukan beban biaya, melainkan sumber nilai. Upah layak bukan bentuk kebaikan hati perusahaan, tapi hak dasar. Berikut adalah alasannya:

Jalan Keluar: Membangun Sistem Kerja yang Sehat

Tidak semua perusahaan harus langsung mampu menggaji besar. Tapi setiap perusahaan bisa mulai membangun sistem kerja yang lebih manusiawi dan rasional:

Berinvestasilah pada Manusia!

Membayar karyawan dengan layak bukan beban. Itu adalah investasi. Setiap rupiah yang diberikan dengan adil akan kembali dalam bentuk loyalitas, ide, semangat, dan stabilitas organisasi. Perusahaan yang besar bukan karena ide brilian semata, tapi karena ia mampu membangun sistem kerja yang membuat setiap orang di dalamnya tumbuh.

Jadi, jika hari ini perusahaan Anda masih mengandalkan satu orang untuk lima pekerjaan, dengan gaji satu peran dan harapan sepuluh kali lipat, mungkin saatnya meninjau ulang: siapa sebenarnya yang sedang dirugikan, karyawan, atau masa depan perusahaan Anda sendiri?

Source:

Afri, Zaldi Refani. 2019.  Pengaruh Kepuasan Upah dan Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention Pada Karyawan UD SGK Kesamben Blitar Jawa Timur. Jurnal Teknologi Kejuruan. Vol. 42, No. 2.

Pratama, Angga. 2024. Pengaruh kepuasan gaji terhadap turnover intention karyawan medical representative pada pt. Bahagia bersama pratama. Ekraf: Ekonomi Kreatif dan Inovatif Indonesia. Vol. 2, No. 1.

Alifa, Nabiela R., Versanudin H. 2022. Pengaruh Upah Terhadap Turnover Intention Karyawan Textile Industry: Studi Kasus Pada PT. HEGARMANAH LESTARI. Komitmen Jurnal Ilmiah Manajemen. Vol. 3, No. 2.

Wijhayanti, Ida Ayu T.. 2024 Employee Retention Implementation Prevents Employee Turnover. Siber Journal of Advanced Multidisciplinary. Vol. 2, No. 2.

Arofah, Hilda I. (Diakses pada 10/05/2025). Tingkat Pergantian Karyawan Indonesia Terus Meningkat, Ini Penyebabnya. topcareer.id.

Rahmi, Jemila., Riyanto. 2022. Dampak Upah Minimum Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja: Studi Kasus Industri Manufaktur Indonesia. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik. Vol. 13, No. 1.

 
 
Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun dan hanya bersifat edukasi. Jika dirasa kurang tepat, silakan hubungi kami di kontak@adnanrizki.com atau jika Anda setuju silakan komen di bawah!

Pos terkait