Latar Belakang Polemik APBD di Bank: Isu dan Perdebatan Terkini

Dedi Mulyadi Gubernur Jabar
banner 468x60

Polemik terkait dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disimpan di perbankan kembali menjadi sorotan publik. Isu ini muncul setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya dana pemerintah daerah (pemda) yang “menganggur” di bank sebesar Rp 234 triliun hingga akhir September 2025. Namun, polemik ini tidak hanya berhenti pada angka tersebut, melainkan juga menimbulkan perdebatan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan.

Latar Belakang Polemik

Dana APBD yang tersimpan di perbankan mencerminkan tingkat realisasi belanja daerah yang lambat. Menkeu Purbaya menjelaskan bahwa jumlah dana yang “menganggur” di bank mencapai Rp 234 triliun, dengan rincian 15 daerah memiliki simpanan terbesar, seperti DKI Jakarta (Rp 14,6 triliun), Jawa Barat (Rp 4,1 triliun), Jawa Timur (Rp 6,8 triliun), dan Kota Banjarbaru (Rp 5,1 triliun). Data ini didasarkan pada catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 15 Oktober 2025.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Namun, data ini langsung dibantah oleh beberapa kepala daerah. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi misalnya, menyatakan bahwa data yang diungkapkan Menkeu tidak akurat. Ia menegaskan bahwa dana APBD Jabar yang tersimpan di bank hanya sebesar Rp 2,4 triliun, bukan Rp 4,1 triliun seperti yang disebutkan.

Perbedaan Data dan Metodologi

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian membeberkan perbedaan data antara Kemenkeu dan Kemendagri. Menurut Tito, data Kemenkeu yang digunakan untuk menyebutkan dana sebesar Rp 233 triliun berasal dari bulan Agustus 2025, sedangkan data Kemendagri yang lebih baru adalah bulan Oktober 2025. Perbedaan waktu ini menyebabkan selisih sebesar Rp 15 triliun.

Tito juga menyoroti kesalahan dalam data daerah-daerah tertentu, seperti Kabupaten Kepulauan Talaud yang disebut memiliki simpanan sebesar Rp 2,6 triliun. Padahal, APBD kabupaten tersebut hanya sekitar Rp 820 miliar. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya human error atau kesalahan dalam penginputan data.

Selain itu, Tito menyatakan bahwa sistem SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) yang digunakan Kemendagri memberikan data yang lebih akurat dan real-time. Sistem ini memungkinkan pemantauan pendapatan dan belanja daerah secara berkala, sehingga meminimalisir kemungkinan kesalahan data.

Reaksi dari Pemda dan Pemerintah Daerah

Beberapa gubernur dan bupati langsung membantah data yang dikeluarkan Kemenkeu. Gubernur Jawa Barat melakukan pengecekan langsung ke Bank Indonesia (BI) dan Kemendagri untuk memastikan kebenaran data. Hasilnya, ia menyatakan bahwa tidak ada dana sebesar Rp 4,1 triliun yang tersimpan dalam bentuk deposito di bank.

Menurut Dedi, dana yang tersimpan di BI hanya sebesar Rp 3,8 triliun dalam bentuk giro, sementara sisanya berada di rekening BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), yang secara administratif berada di luar kas daerah. Ia menilai bahwa data yang diungkapkan Menkeu kemungkinan besar bersumber dari informasi yang tidak lengkap atau salah tafsir.

Dampak Polemik terhadap Pengelolaan Keuangan Daerah

Polemik ini tidak hanya berdampak pada reputasi pemerintah daerah, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan. Sejumlah ahli ekonomi dan pengamat mengkritik lambatnya realisasi belanja APBD yang menyebabkan dana mengendap di bank.

Salah satu penyebab utama adalah kurangnya efisiensi dalam penggunaan anggaran daerah. Banyak daerah masih kesulitan dalam menyerap anggaran karena proses birokrasi yang rumit dan kurangnya koordinasi antar instansi. Selain itu, masalah teknis seperti ketidaksesuaian data antara pemerintah daerah dan lembaga keuangan juga turut berkontribusi.

Untuk mengoptimalkan APBD, beberapa langkah telah diambil oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah mempercepat realisasi belanja melalui program-program prioritas. Misalnya, di Jawa Barat, dana yang tersimpan di bank sebagian besar digunakan untuk pembangunan jalan, operasional pemerintahan, dan pengembangan infrastruktur.

Selain itu, pemerintah daerah juga mulai memanfaatkan sistem digital untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan. Dengan sistem seperti SIPD, pemerintah daerah dapat memantau realisasi belanja secara real-time, sehingga mengurangi risiko dana mengendap.

Peran Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan

Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga memiliki peran penting dalam mengatur dan memantau dana APBD yang tersimpan di perbankan. BI bertugas sebagai lembaga yang mengawasi stabilitas sistem keuangan, sementara Kemenkeu bertanggung jawab atas kebijakan fiskal nasional.

Namun, polemik ini menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam metode pengumpulan data dan pengelolaan dana APBD. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang lebih baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan untuk memastikan keakuratan data dan optimalisasi penggunaan anggaran.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *