IMAGE: Hasan Nasbi Ngopi dan Makan Gorengan Picu Penggundulan Hutan

banner 468x60

Hasan Nasbi: Ngopi dan Makan Gorengan Picu Penggundulan Hutan, Ini Penjelasannya

JAKARTA – Mantan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, kembali menjadi perbincangan setelah menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Dalam sebuah tayangan di saluran YouTube pribadinya, ia menyebut bahwa kebiasaan masyarakat mengonsumsi kopi hingga gorengan berpotensi memicu penebangan hutan atau deforestasi. Pernyataan ini langsung menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk para ahli lingkungan dan pengamat politik.

Kebiasaan Sehari-hari yang Dianggap Picu Deforestasi

Menurut Hasan Nasbi, alih fungsi hutan menjadi kebun kopi maupun perkebunan kelapa sawit sering terjadi seiring dengan tingginya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Ia menjelaskan, “Selagi kita masih suka minum kopi, ada hutan yang berubah jadi kebun kopi. Kita makan gorengan, ada hutan yang berubah menjadi kebun sawit.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Hasan melihat hubungan antara pola konsumsi masyarakat dan dampak lingkungan. Namun, ia juga menekankan bahwa kehidupan modern tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan sumber daya alam. Termasuk dalam hal ini adalah logam yang digunakan dalam ponsel, yang berasal dari aktivitas pembukaan lahan dan penggalian bumi.

“Ketika mereka marah-marah soal hutan ditebang pakai jari itu pun yang dipegang oleh jarinya itu hasil mengeruk perut bumi tuh. Ada hutan yang ditebang itu, yakin,” ujar Hasan dalam video yang viral beberapa waktu lalu.

Kritik Terhadap Pernyataan Hasan Nasbi

Meski pernyataan Hasan Nasbi mendapat dukungan dari sebagian kalangan, namun banyak pihak menilai bahwa narasi yang disampaikan cenderung melebih-lebihkan. Salah satu yang menyoroti hal ini adalah Luthfi Hasanal Bolqiah, pengamat politik sekaligus dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Luthfi menilai pernyataan Hasan Nasbi sebagai false dichotomy atau dikotomi palsu, karena seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem yakni melindungi hutan secara penuh atau melakukan eksploitasi besar-besaran. Padahal, menurutnya, ada banyak pendekatan lain seperti zonasi, tebang pilih, hingga agroforestry.

“Isunya tidak hitam-putih. Membandingkan kebiasaan seperti minum kopi atau memakai ponsel dengan praktik pertambangan dan deforestasi merupakan penyetaraan yang keliru,” kata Luthfi.

Bongkaran Data Matematika dari Alfin Hijriah

Tidak hanya para ahli lingkungan, tetapi juga netizen dan konten kreator edukasi turut merespons pernyataan Hasan Nasbi. Salah satunya adalah Alfin Hijriah, seorang jebolan Magister Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membedah klaim Hasan menggunakan data matematika.

Alfin menghitung total konsumsi minyak goreng nasional, yang mencapai 2,6 juta ton per tahun. Berdasarkan produktivitas lahan sawit Indonesia, yang rata-rata mencapai 3,14 ton per hektare, maka diperlukan sekitar 847.000 hektare lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

“Luas lahan sawit Indonesia saat ini mencapai 16 juta hektare. Itu artinya, kebutuhan rakyat hanya membutuhkan sekitar 5% dari luas lahan yang ada,” jelas Alfin dalam video TikTok @aliftowew.

Ia menegaskan bahwa kerusakan hutan atau deforestasi lebih disebabkan oleh kebijakan tata kelola yang tidak merata, bukan karena rakyat hobi makan gorengan. Menurutnya, masalah utama terletak pada kebijakan pemerintah dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak efisien.

Penjelasan Lebih Lanjut dari Hasan Nasbi

Dalam wawancara lanjutan, Hasan Nasbi menegaskan bahwa penebangan hutan memiliki aturan dan pengawasan ketat. Ia mencontohkan, kawasan hutan konservasi tidak boleh ditebang dengan alasan apa pun. Namun, ia juga menyadari bahwa penyelesaian masalah lingkungan tidak bisa dilakukan hanya dengan menyalahkan masyarakat.

“Jangan main pukul rata. Hancur ekonomi kita. Tapi bahwa lingkungan harus dijaga bener,” ujar Hasan, yang tampaknya ingin menekankan pentingnya keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.

Kebijakan dan Tanggung Jawab Bersama

Masalah deforestasi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 10 juta hektare hutan hilang setiap tahun akibat berbagai faktor, termasuk pertanian, perkebunan, dan urbanisasi.

Di Indonesia sendiri, deforestasi telah menjadi isu yang sangat sensitif, terutama di daerah-daerah dengan tutupan hutan yang rendah. Provinsi seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung, misalnya, telah melanggar ambang batas undang-undang tentang luas hutan yang harus dipertahankan.

Dalam konteks ini, tanggung jawab tidak hanya terletak pada masyarakat, tetapi juga pada pemerintah dan pelaku usaha yang harus memastikan bahwa kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Pernyataan Hasan Nasbi tentang hubungan antara kebiasaan masyarakat dan deforestasi memang menarik perhatian, tetapi juga memicu diskusi yang mendalam. Meski ia menyampaikan pandangan yang berbeda, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa masalah lingkungan adalah kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyalahkan satu pihak.

Sebagai masyarakat, kita perlu sadar akan dampak konsumsi kita terhadap lingkungan, tetapi juga harus mendukung kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, kita bisa bersama-sama menjaga kelestarian hutan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *