Notification

×

Iklan

Iklan

Literature Compare: Kim-Ji Yeong Lahir Tahun 1982 Karya Choo Nam Joo dengan Gadis Minimarket Karya Sayaka Murata

Rabu, 19 Juli 2023 | Juli 19, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2024-04-06T06:02:13Z

 

 Kaum Marjinal Di Balik Kesusastraan Asia Timur

Asian Map
Sumber foto by freepik.com


Sastra, Novel, Budaya dan Manusia

Sastra adalah hasil buah pikir manusia, hasil produk alam konsep yang meniru alam nyata dengan media bercerita atau bahasa estetis. Sastra sendiri dapat berbeda akibat alam pikir individu juga berbeda. Perbedaan yang mempengaruhi alam pikir manusia adalah masyarakat individu itu sendiri. Karena pembawaan setiap individu dipengaruhi oleh masyarakatnya. Maka, sastra dalam sebuah produk adalah representasi masyarakat yang ditujukan untuk masyarakatnya itu sendiri. Sehingga sastra sendiri tak terlepas dari konteksnya, yaitu zaman, sosial, dan psikologi penciptanya.

Masyarakat di setiap tempat memiliki budaya, konflik, tradisi, dan sosial yang berbeda, karena perbedaan inilah sastra di setiap tempat juga berbeda. Karena ini munculah ilmu kajian literatur compare (sastra bandinan). Menurut Damono (2005), Kajian Sastra bandingan adalah kajian bandingan dua karya sastra atau lebih yang memiliki budaya berbeda. Seperti halnya karya tulis ini, yang membandingkan novel Kim Ji-yeong dari Korea Selatan dan novel Gadis Minimarket dari Jepang.

Novel menurut Endah Tri Priyatni  berarti baru, asal kata dari novus dan turun menjadi Novellus, hingga menjadi Novel. Dikatan baru dikarenakan novel datang setelah karya sastra yang lain, seperti puisi atau syair. Novel sendiri karya sastra yang berbentuk prosa, cerita yang berurut dan beruari, berbentuk narasi ataupun dialog. Novel sendiri cerita di atas medium seperti kertas, namun kini novel bisa di dapatkan di dalam media elektronik, seperti gawai.

Kedua novel ini akan dikaji menggunakan pendekatan subaltern. Istilah subaltern mulanya adalah suatu pangkat rendah yang merujuk di dalam militer Inggris (Setiawan, 2018:19). Namun, subaltern dalam kajian teori merujuk ke dalam kelompok marjinal yang menjadi objek hegemoni politik atau hegemoni ideologi itu sendiri. Intervensi subaltern menurut Spivak (dalam Setiawan, 2018:16) mencakup Marxisme, feminism, dan dekonstruksi. Secara singkat dapat dikatan, subaltern adalah teori kajian segala sesuatu yang mencakup hal “marjinal” dalam sosial.

Teori dekonstruktif dalam subaltern, bisa mencampuri permasalahan yang diangkat di dalam novel Kim Ji-yeong dan Gadis Minimarket. Karena keduanya adalah cerita tentang individu dan kaum yang terpinggirkan. Kritik nilai “kebenaran” pada masyarakat yang dilontarkan dalam kedua novel tersebut bertujuan untuk menerangi, bahwa batas wilayah benar atau salah, normal atau abnormal, adalah batas fiksi yang dibentuk masyarakat itu sendiri. Batas-batas yang dibentuk dari kecacatan berpikir “hakikat” binatang yang disebut sebagai Homo Sapiens, yang selanjutnya disebut manusia, membuat beberapa kelompok itu sendiri tersingkirkan.

Novel Kim Ji-yeong adalah novel karya Cho Nam Jo. Cho Nam Jo sendiri adalah seorang perempuan asli Korea Selatan, ia membuat novel ini didasari dari kekhawatirannya kesenjangan dalam relasi gender di Korea Selatan, hal ini disebutkan di dalam bukunya. Korea Selatan adalah negara yang terletak di Asia Timur, sebelah barat dari Jepang dan sebelah timur dari Tiongkok. Walaupun negara ini maju, kesenjangan dalam relasi gender tak terelakan, terbukti dengan sumber-sumber yang dicantumkan oleh Cho Nam Jo sendiri pada catatan kaki novel Kim Ji-yeong. Cho Nam Jo mengambil data yang kredibel untuk novel ini, mulai dari data pekerja wanita, ketua kelas wanita di SD, dan sebagainya.

Negara tetangga, Jepang, juga masih kental dengan isu kesenjangan gendernya. Namun, yang berusaha dimunculkan oleh Sayaka Murata dalam novelnya, Gadis Minimarket, bukan hanya isu kesenjangan gender, namun nilai “normal” dan nilai “kebenaran” di dalam masyarakat. Nilai yang muncul dan hidup di dalam masyarakat ini, membuat beberapa individu terganggu karena tidak setuju dengan keharusan yang dibentuk di dalamnya. Hal inilah yang digambarkan Sayata Murataka, ia menciptakan tokoh utama sebagai tokoh yang mendobrak kesadaran pembaca, kesadaran berpikir bahwa nilai normal dalam masyarakat adalah nilai fiksi yang pincang.

 

Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

Novel Kim Ji Yeong, Lahir 1982
Sumber foto by gramedia.com


Novel Kim Ji-Yeong terbit pada tahun 2016 oleh penerbit Minumsa. Pada tahun 2018 novel ini berhasil terjual sebanyak satu juta salinan. Novel ini hanya berjumlah 192 halaman, tidak banyak, namun isinya cukup untuk membangkitkan kesadaran nilai gender di dalam masyarakat.

Novel yang menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan sedari ia kecil hingga besar. Tokoh utama di dalam novel ini sama dengan judul novelnya, Kim Ji-yeong. Novel ini menggambarkan kehidupan perempuan yang menderita, menderita karena diskriminasi gender yang dilakukan oleh masyarakat.

Bedah Isi

Tokoh Kim Ji-yeong yang hidup di dalam keluarga miskin, merasa dirinya sebagai perempuan selalu diperlakukan tidak adil. Ketika kecil, ia tinggal bersama kedua orang tua, nenek, serta adik dan kakanya. Ji-yeong merasa laki-laki selalu didahulukan dalam segala hal, termasuk dalam hal dasar makan, bekerja, hingga pendidikan. Bahkan ibunya harus berjuang, ketika masyarakat mengharuskan seorang keluarga memiliki anak laki-laki, bahkan adik perempuan sebelum adik laki-laki Kim Ji-yeong harus digugurkan. Bahkan hingga Ji-yeong memiliki anak pun, semuanya terasa semakin buruk, pekerjaannya harus direlakan, tidak adanya kegiatan bersenang-senang, bahkan seolah hidup hanya untuk menjadi pekerja yang dibayar dengan makan. Semuanya tertuang di dalam kisah hidupnya.


A. Eksistensi yang Tidak Diinginkan

Ketika Ji-yeong kecil, ia selalu mendengar neneknya selalu membangga-banggakan anak laki-lakinya. Seolah perempuan di dalam rumah itu tidak pernah berbuat apa-apa, seolah lelaki lah yang melakukan segalanya. Padahal yang menyiapkan makan, tempat tidur, pakaian, dan sebagainya, adalah perempuan, Oh Mi-sook, ibu Ji-yeong.

Aku punya empat anak laki-laki, karena itu aku bisa makan makanan yang diberikan anakku dan bisa tidur di rumah yang disediakan anakku. Walaupun anakku mungkin tidak kaya, aku tetap bisa mendapatkan semua itu karena aku punya empat putra

Bahkan, kelahiran anak perempuan sangat tidak diinginkan oleh keluarga Ji-yeong. Nenek dan ayahnya selalu menginginkan anak laki-laki. Pada masa itu, aborsi diperbolehkan untuk alasan medis, dan anak perempuan termasuk di dalamnya. Akhirnya adik Ji-yeong digugurkan, karena dia perempaun.

“Misalnya, misalnya saja, anak yang ada dalam perutku sekarang adalah anak perempuan, bagaimana pendapatmu?”

Ia berharap suaminya berkata, “Pertanyaan macam apa itu? Anak laki-laki atau perempuan sama berharganya.” Namun, suaminya malah diam saja.

“Bagaimana pendapatmu?” desak ibu.

Suaminya berguling menghadap dinding dan berkata, “Hati-hatilah dengan ucapanmu, karena itu bisa menjadi kenyataan. Tidur saja. Jangan berkata yang tidak-tidak.”

 

b)      B. Nomor Dua Dalam Menikmati Logistik, Nomor Satu Dalam Menyiapkan Logistik

Ji-yeong adalah anak kedua dari tiga bersaudara, adiknya adalah seorang laki-laki, lebih muda lima tahun darinya. Kakaknya seorang perempuan. Kim Ji-yeong suka sekali memakan susu bubuk adiknya yang jatuh ke lantai ketika ibunya menyeduhnya. Ketika hal itu diketahui oleh neneknya, Ji-yeong kecil selalu dipukul dan dimarahi.Tidak hanya Ji-yeong, Eun-yeong, kakak Ji-yeong pun juga dimarahi kalau melakukan itu. Seolah barang-barang adiknya tidak boleh disentuh semuanya, Ji-yeong merasa dirinya adalah orang asing di rumahnya sendiri.

Adik laki-laki dan Ayahnya selalu mendapatkan makanan terlebih dahulu. Adiknya juga selalu mendapatkan mandu yang bagus, sementara Ji-yeong dan Eun-yeong selalu mendapat yang sudah hancur. Bahkan dalam hal pakaian, adik laki-lakinya selalu mendapatkan yang bagus. Budaya keluarga pun selalu menjadikan perempuan sebagai kaum kelas dua. Padahal, keluarga adalah pendidikan pondasi individu. Yang menyiapkan perempuan, namun yang mendapatkannya selalu laki-laki. Konotasi gender menyebabkan jenis kelamin memiliki nomor di dalam logistik.

Nenek yang tinggal serumah dengan mereka tidak suka jika Kim Ji-yeong makan susu bubuk adiknya. Jika ketahuan makan susu bubuk, ia akan dipukul.

Sebenarnya dulu Kim Ji-yeong tidak pernah iri melihat adik laki-lakinya menerima perlakuan khusus. Karena itulah yang terjadi sejak dulu. Kadang-kadang ia merasa diperlakukan tidak adil, tetapi kemudian ia beralasan bahwa ia memang seharusnya mengalah karena ia lebih tua, dan ia memang sepantasnya berbagi dengan kakak perempuannya karena mereka sama-sama perempuan.

Karena hal ini sering terjadi, seolah ini adalah hal yang memang seharusnya terjadi, ini adalah hal normal. Padahal, hal ini adalah akibat dari pemikiran mayoritas yang menjelma menjadi hegemoni dan nilai dari masyarakat itu sendiri. Akhirnya, hal ini menciptakan kaum yang terpinggirkan, kaum yang tak terdengar dan tidak didengar suaranya.


c)      C. Terpinggirkan Dalam Hal Pendidikan

Dulu, ketika Oh Min-sook masih bekerja, Oh Min-sook dan kakaknya harus bekerja untuk mebiayai pendidikan anak laki-laki di dalam keluarganya. Karena anak laki-laki dianggap sebagai inti kesuksesan keluarga. Seolah perempuan hanya pemeran figuran di dalam kehidupan. Kaum perempuan di masa itu bekerja sampai kurang istirahat, kurang makan, dan kurang tidur, namun hasilnya diberikan untuk laki-laki, mereka menganggap hal ini biasa saja, karena itu adalah hal yang terjadi pada masyarakat luas di masa itu.

Sepintar apapun perempuan di masa itu, mereka hanyalah figuran di dalam kehidupan yang tokoh utamanya laki-laki. Mereka tidak memiliki kesempatan meniti pendidikan dan karier hingga menjadi orang yang sukses. Karena masyarakat memandang perempuan hanyalah seorang istri dan ibu yang kerjanya melahirkan dan menjadi asisten rumah tangga tanpa gaji, makhluk yang harus mendahulukan laki-laki, tidak sepatutnya berada di puncak.

"Sebagian besar dari sedikit uang yang dihasilkan setelah bekerja sepanjang siang dan malam samppai wajah mereka pucat dan cekung akan digunakan untuk biaya pendidikan saudara laki-laki mereka."

Hal ini juga ditunjukan di masa Kim Ji-yeong sekolah. Bahkan dalam hal kecil seperti ketua kelas pun yang selalu menjabat adalah laki-laki. Pendidikan dasar yang mendidik siswanya menjadi makhluk yang terkotak-kotak, akan menciptakan sebuah doktrin sehingga kesenjangan di dalam masyarakatpun tercipta.

"Banyak guru yang memilih lima atau enam orang anak perempuan yang pintar untuk melakukan tugas-tugas tertentu, menilai, atau memeriksa PR semua orang. Mereka sering berkata bahwa anak perempuan lebih pintar. Anak-anak juga merasa murid perempuan lebih tekun, tenang, dan teliti, tetapi ketika mereka memilih ketua kelas, mereka selalu memilih anak laki-laki."

Dalam hal peraturan pendidikan, juga terdapat peraturan yang tidak adil. Perempuan diharuskan sebisa mungkin menutup auratnya. Namun laki-laki, mereka melanggar peraturan namun dimaklumi. Normalisasi masyarakat bahwa kaum laki-laki itu bagai binatang, membuat para perempuan harus mengurung dirinya rapat-rapat di bawah peraturan. Seolah dunia harus mendidik anak perempuan mereka dengan ketat, namun untuk anak laki, mereka bisa bebas melakukan apa saja, hampir seperti binatang.

"Suatu kali, ada anak perempuan yang dicegat di gerbang sekolah karena mengenakan sepatu olahraga. Ia kemudian memprotes kenapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan mengenakan kaus dan sepatu olahraga. Guru pengawas menjawab itu karena laki-laki selalu bergerak."

Kita semua tahu anak laki-laki tidak akan duduk diam selama sepuluh menit. Mereka pasti akan bermain sepak bola, bola basket, bisbol, atau melompat ke sana ke mari. Bagaimana mungkin anak-anak sepeti itu disuruh mengenakan kaus berkerah tinggi dan bersepatu biasa?

 

d)      D. Nomor Dua Dalam Hal Pekerjaan

Ketika Ji-yeong lulus dari kampus, Ji-yeong harus menghadapi realita bahwa perempuan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Kenyataan bahwa produktivitas pekerja perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, akibat cuti haid dan melahirkan, membuat perempuan mendapatkan diskriminasi dalam hal pekerjaan. Walaupun di masa tahun 2000-an perempuan sudah banyak yang bersekolah tinggi, namun diskriminasi dalam gender masih ada.

Namun, ia berkata bahwa ia bahkan tidak yakin bisa diterima di perusahaan kecil yang tidak jelas, apalagi di perusahaan besar.

“Kenapa?” tanya Kim Ji-yeong.

Karena kita bukan lulusan SKY.”

“Coba lihat para senior yang datang untuk memberikan presentasi pekerjaan. Banyak lulusan kita yang berhasil diterima di perusahaan bagus.”

“Sebagian besar senior kita itu pria. Berapa banyak kakak senior wanita yang pernah kaulihat?”

 

e)      E. Nomor Dua Dalam Relasi Hierarki Keluarga

Ketika Ji-Yeong menikah, ia terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Ji-yeong merasa hal ini tidak adil, bahwa dia harus meninggalkan pekerjaannya untuk melahirkan, sementara suaminya, Jeong Da-hyeon bisa tetap bekerja dan berkiprah dalam karier. Bahkan Kim Ji-yeong memiliki anak bukanlah keinginannya, namun keinginan keluarganya. Seolah perempuan yang belum memiliki anak adalah perempuan gagal. Seolah perempuan harus melahirkan banyak anak dan terus bekerja di rumah tanpa gaji.

“Ada satu cara agar mereka berhenti meributkan masalah ini.”

“apa?”

“Melahirkan seorang anak. Bagaimanapun, kita memang akan memiliki anak dan kau tidak perlu menghadapi ocehan orang-orang. Bagaimana kalau kita melahirkan anak sementara kita masih muda?”

Bahkan ketika Ji-yeong hamil dan masih bekerja, semuanya terasa lebih berat. Ia harus berdiri di dalam kereta berdesak-desakan. Orang-orang tidak mau memberikan tempat duduknya ketika kereta sedang ramai, mereka menunjukan ekspresi tidak menyenangkan.

Ketika anak Ji-yeong lahir, Ji-yeong merasa Lelah yang luar biasa. Tangannya yang selalu menggendong anaknya supaya tidak merengek, jadi sakit. Itu semua sudah dianggap lumrah oleh masyarakat.

 

Gadis Minimarket

Novel Gadis Minimarket
Sumber foto by gramedia.com

Gadis Minimarket adalah novel Jepang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, nama aslinya adalah Konbini Ningen. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2016 di Bungakukai, jumlah halamannya tidak banyak, hanya 160 halaman saja. Novel ini juga pernah mendapatkan penghargaan Akutagawa ke-155 pada tahun 2016. Novel ini menceritakan kehidupan seorang gadis yang dianggap tidak normal. Ia bekerja sebagai karyawan Minimarket sepanjang hidupnya, namanya adalah Furukura Keiko . Namun, manusia tidak normal di dunia ini tidak hanya dia, seorang laki-laki bernama Shiraha juga dianggap tidak normal. Normal dalam kasus ini adalah sesuai dengan keinginan masyarakat/konstruksi sosial.

Bedah Isi

a)      A. Logika Masyarakat yang Berbeda

Dari Keiko kecil, ia dianggap tidak normal. Keiko kecil berpikir bahwa logika orang-orang aneh. Mereka berduka, mereka menangisi sesuatu, namun juga membunuh hal lain di saat bersamaan. Hal ini membuat Keiko bingung, bingung dengan logika orang-orang yang berbeda dengannya, karena hal ini Keiko dianggap aneh/tidak normal.

Di sekolah, Keiko pernah memukul dua anak laki-laki yang berkelahi dengan skop. Itu dilakukannya karena anak-anak meminta dua anak laki-laki yang sedang berkelahi itu berhenti berkelahi, Keiko pikir jika kedua anak laki-laki itu dipukul dengan skpo pasti mereka diam. Karena kejadian ini, orang tua Keiko dipanggil untuk menghadap guru. Masih banyak kejadian lainnya yang seperti ini. Karena itu, Keiko jadi tidak mau bersosialisasi dan tidak banyak berbicara. Keiko pikir begitu lebih baik, diam adalah normal. Walaupun begitu, Keiko tetap dianggap aneh, karena berbeda.

Hal ini menganalogikan bahwa masyarakat memiliki logika dan norma/peraturannya sendiri. Peraturan yang tanpa tertulis yang berlaku dan hanya berada di dalam kepala setiap individu, membuat orang yang tidak memilikinya dianggap “salah” atau “aneh”.

Semasa aku di taman kanak-kanak, pernah ada seekor burung di taman. Burung itu kecil, cantik, berwarna biru, dan sepertinya peliharaan seseorang. Burung itu tergeletak dan mata terpejam, sementara anak-anak lain berkerumun menangisinya. Salah seorang anak perempuan berkata, “Bagaimana ini…?” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, burung kecil itu sudah berpindah ke tanganku. Lalu kudatangi ibuku yang mengobrol di bangku taman.

“Ada apa, Keiko? Duh, burung kecil yang malang. Dia terbang ke sini, ya?” Ujar ibu dengan lembut sambil mengusap kepalaku. “Kasihan sekali, ayo kita kuburkan!”

“Ayo kita makan dia” Ujarku.

“Apa?”

“Ayah suka Yakitori, jadi nanti malam kita makan ini saja”

 

b)      B. Umur Memiliki Batas Patokan Mulai Bekerja, Memiliki Pacar, dan Sukses

Ketika Keiko kuliah, ia melamar di sebuah minimarket untuk menjadi pekerja paruh waktu. Di sana ia merasa menjadi normal, sama seperti orang-orang lain. Kenormalan dan kesetaraan yang dirasakannya itu diakibatkan oleh peraturan sebagai pelayan Minimarket, dan peran sosial yang melekat sebagai pelayan Minimarket. Yang dilakukan sebagai pelayan hanya harus membuat Minimarket tetap bisa berjalan dan pelanggan puas, hal itu tak membutuhkan “kenormalan” yang dibutuhkan dan dikatakan orang-orang kepada Keiko.

Karena itu, Keiko bekerja di Minimarket sebagai pekerja paruh waktu sampai selama 18 tahun. Menurut orang-orang ini adalah hal yang “tidak normal”. Kenormalan menurut orang-orang adalah Keiko mendapatkan pekerjaan tetap di umurnya yang 30 tahunan itu.

Tokoh Shiraha juga tidak memiliki pekerjaan hingga umurnya 30 tahun, karena hal itu, ia merasa dirinya terhuang dari masyarakat. Shiraha merasa masyarakat menginginkan mereka semua sama, Keiko juga merasakan hal yang serupa.

“Jangan-jangan kau masih bekerja paruh waktu, ya?”

Sejenak aku berpikir. Aku paham bahwa orang akan menganggap aneh bahwa orang seusiaku belum punya pekerjaan tetap dan belum menikah karena adikku pernah menjelaskannya.

“Ee, aku tak punya pengalaman kerja lain, dan secara fisik dan psikis bekerja di Minimarket ringan buatku.”

Mendengar penjelasan itu, suami Yukari menatapku seolah sedang melihat peri.

“Apa? Kau tak punya pengalaman lain…? Kalau susah mendapatkan pekerjaan tetap, kenapa tak menikah saja? Sekarang ini banyak situs perjodohan, kan?”

Shiraha menunduk dengan canggung, “Yang jelas, semua masih sama seperti zaman Jomon. Kalian hanya tak menyadarinya. Pada akhirnya kita semua adalah binatang,” ujarnya dengan penjelasan yang keluar dari topik.” Kalau aku boleh bilang, masyarakat ini disfungsional. Ketidaksempurnaan itu menyebabkan aku mendapatkan perlakuan tidak adil.”

 

c)      C. Kenormalan Dalam Peniruan

Keiko menyadari suatu hal, bahwa kita (individu) dipengaruhi oleh masyarakatnya. Seperti cara berbicara, cara berpakaian dan sebagainya. Sehingga sebenarnya tidak ada gaya murni dan kata “normal” itu sendiri hanyalah ketiadaan.

Batas kenormalan sendiri terbentuk akibat pikiran jamak masyarakat, atau hegemoni yang mendoktrin pikiran khalayak. Hal ini, menciptakan konstruksi sosial yang memiliki batas-batas di dalamnya, konstruksi sosial dan batas-batasnya menciptakan kotak-kotak “kenormalan”.

Diriku saat ini adalah hasil bentukan orang-orang disekitarku. Tiga puluh persen berkat Izumi, 30 persen berkat Sugawara, 20 persen berkat manager, dan sisanya berkat orang-orang dari masa lalu.

Cara bicaraku yang terutama dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarku. Saat ini cara bicaraku merupakan perpaduan antara cara bicara Izumi dan Sugawara. Kupikir ini juga berlaku bagi kebanyakan orang. Beberapa waktu lalu, temanteman band Sugawara datang ke toko, dan pakaian serta cara bicara gadisgadis teman Sugawara mirip dengannya.

 

d)      D. Lelaki Bekerja dan Sukses, Perempuan Melahirkan dan Mengurus Rumah Tangga

Hal ini yang membuat Shiraha dan Keiko terganggu. Mungkin, jika di dalam dunia nyata tokoh Shiraha adalah tokoh yang menyebalkan, karena ia tidak mau bekerja namun ia ingin Keiko yang mencari makan. Namun, ini semua adalah sindiran, bahwa konotasi gender sudah terbentuk. Lelaki harus bekerja dan sukses dan memimpin keluarga. Perempuan harus melahirkan. Sindiran bahwa orang yang tidak mengikuti peraturan tersebut, akan dianggap aneh, asing, dan salah.melahirkan. Sindiran bahwa orang yang tidak mengikuti peraturan tersebut, akan dianggap aneh, asing, dan salah.

Penggambaran hidup normal digambarkan oleh tokoh keluarga adik Keiko sebagai pembanding kenormalan dengan Keiko, dan keluarga adik Shiraha serta adik iparnya sebagai pembanding kenormalan dengan Shiraha. Adik Keiko sudah menikah dan memiliki anak, itu dianggap kehidupan yang seharusnya. Adik Shiraha sudah bekerja dan menikah serta memiliki anak, itu juga hal yang dianggap seharusnya.

“… kalau belum seutuhnya terjun ke masyarakat, berarti kami harus bekerja. Setelah bekerja kami dituntut menghasilkan banyak uang, setelah itu menikah dan memiliki banyak keturunan. Dan masyarakat akan terus menghakimi. Jangan samakan kami dengan kalian para perempuan,” ujar Shiraha yang terlihat tak senang.

“Karena itulah aku sadar bahwa sejak zaman Jomon masyarakat tak berubah. Mereka yang tak berguna bagi kelompok akan disingkirkan: laki-laki yang tak berburu dan perempuan yang tak mampu melahirkan keturunan. Meskipun masyarakat modern bicara soal individualisme, mereka yang berbeda harus bersiap untuk dicampuri urusannya, ditekan, dan akhirnya diasingkan dari desa.”

 

Perbandingan Novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 dan Novel Gadis Minimarket

Keduanya sama-sama menggambarkan kaum marjinal, sama seperti yang dibahas subaltern. Masyarakat marjinal yang terbentuk akibat adanya hegemoni dalam masyarakat, entah itu media, pendidikan, atau pemikiran orang berpengaruh. Namun, dalam konteks kedua novel ini, hegemoni terbentuk akibat pendidikan. Semuanya sudah ditanam sejak dini. Bahkan sejak zaman dahulu kala hal ini sudah ada. Membuat masyarakat berpikir bahwa ini adalah “benar”.

Sejatinya dunia adalah ruang kosong tak bernilai, manusia yang cenderung berpikir dualistikdikotomi (Wattimena, 2016:32) membuat dunia penuh dengan penilaian baik dan buruk. Hal ini digambarkan di dalam novel Gadis minimarket. Novel Kim Ji-yeong menggambarkan masyarakat yang sudah berisi nilai, membuat beberapa yang tidak sesuai dengannya, merasa terpinggirkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan subaltern menurut Spivak.

Meskipun Korea dan Jepang bertetanggaan, namun bukan berarti kedua novel ini sama 100%. Korea adalah negara yang bangkit dari keterpurukan semenjak industri di negara itu bangkit, atau sejak setelah jauh dari perang Korea pada tahun 1953. Sementara Jepang sudah maju sejak era Tokugawa sudah tidak menutup negerinya lagi, semakin maju lagi ketika era kaisar Meiji.

 

Perbedaan Pembahasan Objek Marjinal

Walaupun sama-sama membahas golongan yang terpinggirkan, namun ada perbedaan di keduanya. Perbedaan yang sangat terlihat adalah objek yang dibahas. Jika di dalam Novel Kim Ji-yeong membahas kaum marjinal akibat hierarki dalam relasi gender, maka novel Gadis Minimarket mambahas tentang konstruksi masyarakat, atau lebih luas dari gender.

Novel Kim Ji-yeong berkaitan dengan pemikiran feminis. Di mana cita-cita untuk equality di dalam relasi gender berusaha digaungkan. Lebih sempit lagi, perjuangan “kaum perempuan” sebagai kelas yang terpinggirkan. Terbukti dari beberapa data yang didapatkan; eksistensi yang Tidak Diinginkan. Nomor Dua Dalam Menikmati Logistik, Nomor Satu Dalam Menyiapkan Logistik. Terpinggirkan Dalam Hal Pendidikan. Nomor Dua Dalam Hal Pekerjaan. Nomor Dua Dalam Relasi Hierarki Keluarga.

Novel Gadis Minimarket, membahas tentang “kenormalan” yang hidup dan berkembang di pikiran masyarakat. Penilaian hidup individu yang ditentukan oleh kesesuaian dengan konstruksi sosial. Tidak hanya menikah, namun bekerja, dan memiliki pacar. Terbukti dari beberapa data, seperti Logika Masyarakat yang Berbeda. Umur Memiliki Batas Patokan Mulai Bekerja, Memiliki Pacar, dan Sukses. Lelaki Bekerja dan Sukses, Perempuan Melahirkan dan Mengurus Rumah Tangga, dan Kenormalan Dalam Peniruan.

 

Perbedaan Penyajian Novel Novel

Kim Ji-yeong dan novel Gadis Minimarket memang sama-sama novel kecil, hanya 100-an halaman, tidak menyentuh angka 200. Namun dalam teknik penyajiannya, keduanya berbeda.

Cho Nam Joo membuat novel Kim Ji-yeong seperti sebuah cerita biografi, bahkan novel ini menyajikan data riil dengan catatan kaki. Seolah Ji-yeong bukanlah tokoh fiksi, melainkan orang yang pernah hidup, lalu diceritakan kembali di dalam novel. Penyajian ini membuat kita merasakan bahwa yang mengalami ini bukan hanya Ji-yeong. Bahkan penulis menegaskan di akhir cerita dengan kalimat “Kim Ji-yeong adalah kita”.

Jika Cho Nam Joo menyajikan novel dengan cara seperti cerita rill, Sayata Murataka menyajikan novel dengan cara bercerita dengan keseharian riil namun dengan kelakuan tokoh yang jelas-jelas fiksi. Keiko yang bagian dari masyarakat, seolah tidak terpengaruh oleh nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat sejak kecil. Keiko seolah mesin tak berperasaan, semuanya ia lakukan berdasarkan logika, walaupun begitu, kesehariannya memang seperti masyarakat kalangan bawah di dunia riil. Inilah yang membuat novel ini membuat kita berpikir kritis, dan juga tetap merasakan kesamaan dengan tokoh tersebut.

 

Perbedaan Budaya

 Sayata Murataka menggambarkan tokoh Keiko di dalam novel sebagai tokoh yang overwork. Hal ini adalah hal yang biasa di dalam negara Jepang. Keiko yang bekerja sebagai pelayan di Minimarket digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya dimiliki oleh pihak yang berkuasa, yaitu masyarakat dan industri kapital, tidak memandang dia laki-laki atau perempuan.

Sejak sebelum zaman imperialisme, Jepang memiliki moral yang disebut dengan moral Bushido. Moral yang dimiliki para samurai, kombinasi dari kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati. Ajaran ini sudah ada sejak zaman damai Tokugawa, sebelum era restorasi. Ketika era showa di zaman perang dunia ke-II, yang diharuskan dan diajarkan memiliki jiwa kesetiaan dan kehormatan bukan hanya tentara, namun rakyat biasa pun juga. Hingga kini, kesetiaan dan kehormatan adalah hal yang sangat kental dengan Jepang, membuat masyarakatnya bekerja dan melakukan sesuatu hingga total.

Novel Kim Ji-yeong ciptaan Cho Nam Joo berlatar Korea Selatan, karena yang diceritakan Cho Nam Joo sendiri adalah tokoh yang tinggal di Korea Selatan dan masyarakatnya. Cho Nam Joo menggambarkan Korea Selatan dari masa keterpurukan, kebangkitan, hingga berkiprahnya (masa kini). Dahulu, Semenanjung Korea dijajah oleh Jepang. Ketika Jepang kalah, penderitaan Korea masih belum berakhir. Semenanjung Korea bagian selatan dimasuki oleh tentara sekutu, dan Semenanjung Korea bagian Utara dimasuki oleh tentara merah Soviet. Ketika itu, kedua kekuatan saling mempengaruhi wilayah yang didudukinya. Hingga pecah perang Korea pada tahun 1950 akibat keinginan penyatuan Semenanjung Korea. Rakyat semakin terpuruk, pendidikan semakin terbelakang.

Namun, ketika perang Korea berakhir dengan gencatan senjata dan pemerintahan militer mulai lepas, kekuatan industri Korea Selatan semakin lama semakin menguat. Hal ini membuat taraf hidup rakyat Korea Selatan membaik, bersamaan dengan itu, pendidikanpun juga membaik. Hal ini digambarkan di dalam novel dengan kemajuan berpikir, seperti pembentukan organisasi emansipasi perempuan dan taraf hidup yang membaik.

Hal ini membuat penyajian alur cerita Kim Ji-yeong dengan novel gadis perempuan berbeda. Cho Nam Joo menggambarkan masyarakat Korea yang semakin lama semakin sadar terhadap emansipasi jenis kelamin dari kekangan konsep gender. Namun walaupun begitu, konsep equal right berjalan lambat karena pihak yang berkuasa sendiri kurang berkontribusi. Dibuktikan dari data-data dan penerapan hukum tenaga kerja yang masih kurang berpihak pada keadilan gender di catatan kaki.

 

Interpretasi Data Perbandingan

Dari data yang ada, ditemukan tiga perbedaan dari persamaan topik yang dibahas, yaitu individua tau kelompok marjinal. Pertama ada Perbedaan Pembahasa Objek Marjinal, Perbedaan Penyajian Novel, dan Perbedaan Budaya. Perbedaan budaya menyebabkan penyajian novel berbeda, perbedaan penyajian novel juga menimbulkan dampak yang berbeda. Novel Kim Ji-yeong membuat pembaca masuk ke dalam kehidupan wanita dan merasa ini adalah urgensi yang harus segera diselesaikan. Novel Gadis Minimarket menyebabkan pembaca melihat kehidupan kaum yang terpinggirkan dan memandang dunia dari sisi yang berbeda.

 

Lalu, Apa yang Kita Dapat?

Spivak menjelaskan bahwa teori kajian subaltern membahas individu atau kaum yang tidak terlihat akibat hegemoni. Mereka yang dianggap tidak sesuai akan dianggap salah di dalam masyarakat. Nilai individu di dalam sosial seolah sudah dihargai semenjak individu itu lahir dan memilih pilihan hidupnya sendiri. Wattimena (2016:32) berpendapat, bahwa dunia adalah ruang kosong tak bernilai, manusia yang cenderung dualistik-dikotomi.

Hal ini menciptakan masyarakat yang penuh dengan penilaian, masyarakat yang mengkotakkotakkan, masyarakat yang suka membuang individu. Ini semua membuat istilah individualisme di dalam masyarakat sejatinya ada dan tidak ada. Ada jika menyangkut dengan “penggapaian tujuan pribadi” tidak ada dalam “konsep penilaian masyarakat”.

Individu yang tidak sesuai dengan konstruksi masyarakat dibahas di dalam novel Gadis Minimarket karya Sayata Murataka, sedangkan kaum marjinal lebih spesifik ke dalam gender, dan wanita, dibahas di dalam novel Kim Ji-yeong karya Cho Nam Joo.

 

Daftar Pustaka

Dani H., Shandi. (2019). Pemanfaatan Hasil Analisis Novel Seruni Karya Almas Sufeeya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Jurnal Metamorfosis. Vol 12. No 1.

Joo. Cho Nam. 2019. Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Murata. Sayaka. 2016. Gadis Minimarket. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Rahma Santhi Z.. ISU SEKSISME DAN FEMINISME SUBALTERN PADA IKLAN DALAM BINGKAI PARADIGMA KRITIS SPIVAK. https://repository.uksw.edu/bitstream. (diunduh pada 16/12/21)

Rahmat Setiawan. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Jurnal Ilmu Sastra. Vol 6. No 1.

Utami Widya Ningsih. (2011). Subaltern Dalam Naskah Andorra Karya Max Frisch: Sebuah Kajian Poskolonial. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Watimena. A.A Reza. 2016. Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman, Sammpai Dengan Perdamaian Dunia. Yogyakarta: Maharsa.

×
Berita Terbaru Update